Pertanyaan :
1. Adakah hukum di Indonesia yang mengatur mengenai istri yang bekerja
tanpa seizin suami? Dapatkah seorang suami meminta pada perusahaan
tempat
istrinya bekerja untuk tidak lagi mempekerjakannya? 2. Bisakah
seorang ayah mendapatkan hak asuh atas anaknya jika anak itu masih di
bawah umur? Ibunya orang mampu dan tidak gila?
Jawaban :
1. Pada dasarnya, istri dapat melakukan perbuatan hukum tanpa persetujuan dari suami. Hal ini terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):
Pasal 31 UU Perkawinan
(1) Hak
dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Oleh
karena itu, istri berhak untuk mengikatkan dirinya dalam suatu hubungan
hukum (dalam hal ini, hubungan kerja) dengan perusahaan tempatnya
bekerja tanpa persetujuan dari suami. Sehingga, secara hukum suami tidak
berhak meminta pada perusahaan tempat istrinya bekerja untuk tidak
mempekerjakan istrinya lagi.
Selain
itu, ini didasarkan pula pada prinsip bahwa hubungan kerja itu sendiri
terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja (Pasal 50 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
Sehingga sebagaimana pada perjanjian pada umumnya, yang dapat
mengakhiri perjanjian adalah para pihak dalam perjanjian dengan
persetujuan keduanya (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 55 UU Ketenagakerjaan).
Selain itu, dapat dilihat pula dari Pasal 151 dan Pasal 162 UU Ketenagakerjaan bahwa yang dapat mengakhiri hubungan kerja adalah perusahaan dan pekerja itu sendiri (dengan kesepakatan keduanya).
Pada
sisi lain, dalam hal ini istri maupun suami perlu mengingat kembali
bahwa pada dasarnya perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal (Pasal 1 UU Perkawinan). Suami dan istri mempunyai kewajiban untuk saling menghormati (Pasal 33 UU Perkawinan).
Adalah kewajiban suami untuk melindungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya, serta
isteri wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya (Pasal 34 UU Perkawinan).
Berdasarkan
hal-hal tersebut, walaupun secara hukum kedudukan suami dan istri sama
dan keduanya berwenang untuk melakukan perbuatan hukum, akan tetapi akan
lebih baik jika suami dan istri membicarakan secara baik-baik perihal
apakah lebih baik istri bekerja atau tidak. Ini sekaligus untuk
mempertimbangkan apakah dengan bekerjanya si istri, istri dapat tetap
melaksanakan kewajibannya mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya,
serta bersama suami membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
2. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Hak Asuh Ketika Ibunya Bersuami Lagi?,
hukum mewajibkan orang tua (ayah dan ibu) untuk mengasuh, memelihara,
mendidik, dan melindungi anak. Orang tua berkewajiban pula untuk
menumbuhkembangkan anak sesuai bakat dan kemampuannya. Kalau terjadi
perceraian antara orang tua, kewajiban untuk mengasuh dan
menumbuhkembangkan anak tidak hilang dengan sendirinya. Dalam Pasal 41 huruf a UU Perkawinan, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.
Dalam UU Perkawinan sendiri tidak ditentukan siapa yang akan memperoleh hak asuh anak dalam hal terjadi perceraian. Pasal 41 huruf a UU Perkawinan memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk memberikan keputusan dalam hal terjadi perselisihan atas hak asuk anak-anak.
Pasal 41 huruf a UU Perkawinan
“Baik
ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
sematamata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya”
Akan
tetapi, pada umumnya hak asuh atas anak di bawah umur diberikan kepada
istri. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Suami Tidak Berikan Nafkah 8 Tahun, Bisakah Menggugat Cerai?, perihal siapa yang berhak mengasuh, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1968 dalam perkara: Tjiioe Tiang Hin melawan Kwee Poey Tjoe Nio, dinyatakan,
“Dalam hal terjadi perceraian, anak-anak yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang dan perawatan ibu, perwaliannya patut diserahkan kepada ibunya.”
Apabila agama istri dan suami adalah Islam, maka berdasarkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)
anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Setelah anak
tersebut berusia 12 tahun maka dia diberikan kebebasan memilih untuk
diasuh oleh ayah atau ibunya. Dalam Pasal 105 KHI dikatakan pula bahwa
dalam hal terjadi perceraian, biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh
suami.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
4. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Sumber : hukumonline.com
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
BalasHapus-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda!!
Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
• Bandar66 (NEW)
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam ????
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!?