Pertanyaan :
Saya ingin bertanya mengenai berakhirnya
pemberian kuasa. menurut pasal 1813 KUHPerdata berakhirnya kuasa itu
antara lain: 1. penarikan kembai kuasa
2. dengan pemberitahuan
penghentian kuasanya 3. dengan meninggalnya pemberi kuasa atau penerima
kuasanya 4. dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima
kuasa. Untuk ketentuan nomor 4 dikatakan "sudah tidak berlaku lagi".
Yang ingin saya tanyakan, a. mengapa sudah tidak berlaku lagi ? b.
apakah ada dasar hukum yang mengatur bahwa ketentuan nomor 4 sudah tidak
berlaku lagi? Terima kasih.
Jawaban :
a Bunyi selengkapnya isi Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), adalah sebagai berikut:
“Pemberian kuasa berakhir:
dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa;
dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa;
dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa
dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.”
Selanjutnya
akan kami jelaskan mengapa pada awalnya “perkawinannya si perempuan
yang memberikan atau menerima kuasa” menjadi salah satu hal yang
mengakibatkan berakhirnya kuasa.
Ini
karena berdasarkan KUHPer, perempuan yang sudah menikah dalam melakukan
tindakan hukum harus dengan izin dari suaminya, sebagaimana terlihat
dalam pasal-pasal berikut ini:
Pasal 105 KUHPer:
Setiap suami adalah menjadi kepala persatuan perkawinan. Sebagai kepala, ia wajib memberi bantuan kepada isterinya atau tampil untuknya di muka Hakim, dengan mengingat pengecualian-pengecualian yang diatur di bawah ini. Dia
harus mengurus harta kekayaan pribadi si isteri, kecuali bila
disyaratkan yang sebaliknya. Dia harus mengurus harta kekayaan itu
sebagai seorang kepala keluarga yang baik, dan karenanya bertanggung
jawab atas segala kelalaian dalam pengurusan itu. Dia tidak
diperkenankan memindahtangankan atau membebankan harta kekayaan tak
bergerak isterinya tanpa persetujuan si isteri.
Pasal 108 KUHPer:
Seorang
isteri, sekalipun ia kawin di luar harta bersama, atau dengan harta
benda terpisah, tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan,
menggadaikan, memperoleh apa pun, baik secara cuma-cuma maupun dengan
beban, tanpa bantuan suami dalam akta atau izin tertulis.
Sekalipun suami telah memberi kuasa kepada isterinya untuk membuat akta
atau perjanjian tertentu, si isteri tidaklah berwenang untuk menerima
pembayaran apa pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas
dari suami.
Pasal 109 KUHPer:
Mengenai perbuatan atau perjanjian, yang dibuat oleh seorang isteri karena apa saja yang menyangkut perbelanjaan rumah tangga biasa dan sehari-hari, juga
mengenai perjanjian perburuhan yang diadakan olehnya sebagai majikan
untuk keperluan rumah tangga, undang-undang menganggap bahwa ia telah
mendapat persetujuan dan suaminya.
Pasal 110 KUHPer:
Isteri tidak boleh tampil dalam pengadilan tanpa bantuan suaminya,
meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan harta
terpisah, atau meskipun dia secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas.
Pasal 1330 KUHPer:
Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah:
1. anak yang belum dewasa;
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. perempuan yang telah kawin
dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua
orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan
tertentu.
Ketentuan-ketentuan
KUHPer tersebut yang mengakibatkan berakhirnya pemberian kuasa yang
diberikan seorang perempuan sebelum dia menikah. Ini karena, menurut
ketentaun-ketentuan tersebut, seorang perempuan tidak dapat melakukan
perbuatan hukum tanpa persetujuan dari suami, termasuk perbuatan hukum
memberikan kuasa.
Akan tetapi, mengenai perlunya izin dari suami kepada isteri untuk melakukan perbuatan hukum tidak berlaku lagi sejak adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang:
“Sebagai
konsekwensi dari gagasan ini, maka Mahkamah Agung menganggap tidak
berlaku lagi antara lain Pasal-pasal berikut dari Burgerlijk Wetboek:
1. Pasal-pasal
108 dan 110 B.W. tentang wewenang seorang istri untuk melakukan
perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau
bantuan dari suami. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi
perbedaan diantara semua warga negara Indonesia.”
Selain itu, mengenai seimbangnya kedudukan suami dan isteri dalam melakukan perbuatan hukum juga terlihat dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):
Pasal 31 UU Perkawinan
(1) Hak
dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Jadi,
dengan seimbangnya kedudukan antara suami dan isteri dalam melakukan
perbuatan hukum, maka perkawinan seorang perempuan yang sebelum menikah
telah memberikan kuasa kepada orang lain, tidak membuat kuasa tersebut
menjadi berakhir setelah perempuan tersebut menikah. Ini berakibat pada
tidak berlaku lagi ketentuan “pemberian kuasa berakhir dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa”.
b Sebagaimana telah dijelaskan di atas, dasar hukumnya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang dan Pasal 31 UU Perkawinan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
3. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang.
Sumber : hukumonline.com
Yuk Gabung Bersama Kami Hanya di RoyalQQ
BalasHapusMinimal Deposit Hanya Rp 15.000
RoyalQQ juga membagikan Bonus TO 0.5% SETIAP HARI
Yuk rasakan sensasi menang bersama RoyalQQ
Link Registrasi : https://goo.gl/dQPyud
Titanium Dive Knife | Home | TITanium-arts.com
BalasHapusThe winnerwell titanium stove knife is similar trekz titanium pairing in shape, titanium cross necklace with its weight less than 2.6 kg and a titanium teeth dog long handle with a short handle and light handle. It tungsten titanium is also a weight